MEMAHAMI URGENSITAS DIEN YANG BENAR BAGI MANUSIA

 Bismillaahirrahmaanirrahim

Jika anda ditanya, apakah persoalan pokok dalam kehidupan ini, apakah jawaban anda? Pernahkah anda mengalami krisis identitas? Mempertanyakan hakikat jati diri hingga arti dan tujuan hidup anda? Seorang kawan kuliah saya pernah bertanya kepada saya secara retoris tentang apa tujuan hidupnya yang sebenarnya dan untuk apa ia ada di bumi. Rupanya ia belum memahami hakikat kehidupan dan mengalami kebingungan. Berita buruk lainnya, ada jutaan manusia di dunia yang mempertanyakan hal serupa namun tak tahu jawabannya. Pertanyaan ini sederhana namun sangat urgen bagi jiwa manusia. Jika kita tidak atau belum tahu jawabannya, niscaya kita akan mengalami disorientasi. Disorientasi yang dialami pelaut di samudera dan awak kapalnya saja sudah demikian berbahaya, apatah lagi jika itu disorientasi dalam kehidupan?!

Pertanyaan mendasar ini sebetulnya muncul di benak setiap manusia. Ada yang menekannya dalam-dalam dalam jiwa dan mengabaikannya. Ada pula yang kritis dan mencari jawabannya. Masih ingat dengan acara safari dakwah Dr.Zakir Naik di Indonesia beberapa bulan yang lalu? Dari banyak pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau terungkap bahwa sebetulnya di relung jiwa terdalam para penanya, ada sebuah persoalan fundamental yang mendesak untuk dijawab, yakni tentang prinsip hidup yang benar dan hubungan antara manusia dan Penciptanya. Secara fitrah manusia pasti mempertanyakan makna eksistensi mereka. Di luar kebutuhan materiil yang sudah terpenuhi seperti makan, minum, berpasangan secara halal, dan berpengetahuan, manusia memiliki satu kebutuhan dasar lain yang bersifat ruhaniyah.Jika itu tidak terpenuhi, manusia tidak bisa merasakan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Sekarang mari kita telaah apakah hal paling esensial itu? Dalam QS. Al Baqarah: 132, Allah Subhanawata'ala berfirman :

 وَوَصّٰى بِهَآ إِبْرٰهِـۧمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يٰبَنِىَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ

"Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub, ‘Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih dien ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim’." (QS. Al-Baqarah :132)

Pada ayat di atas, Nabi Ibrahim alaihissalam dan Nabi Ya'kub alaihissalam mewasiatkan sebuah pesan yang sangat penting kepada anak keturunannya . Wasiat yang lebih penting daripada warisan harta benda. Substansi pesan itu ada dua hal dan keduanya juga berlaku bagi kita. Yang pertama,  bahwasanya Allah Subhanawata'ala telah MEMILIHKAN DIEN ini ( Islam) bagi kita. Yang kedua, bahwasanya kita tidak boleh mati kecuali dalam keadaan istiqamah di atas dien itu (menjadi muslim). Jadi, Allah Subhanawata'ala sendirilah yang telah MEMILIHKAN dien ini bagi kita, manusia. Allah Subhanawata'ala menegaskan hal ini dalam ayat lain:

... ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلٰمَ دِينًا ۚ ...

"... Pada hari ini telah Aku sempurnakan dienmu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai dien bagimu..." (Potongan QS. Al-Ma'idah : 3)

Dien merupakan pedoman hidup. Ia lebih dari sekedar agama. Istilah agama berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya a= tidak, gama= kacau. Dien tidak sekedar berfungsi menjadikan manusia dan alam semesta terhindar dari kekacauan atau ketidakteraturan. Di atasnya dibangun segala keyakinan, kepercayaan, pikiran, perasaan, perbuatan, perkataan, dan semua aspek kehidupan manusia dari hal terkecil hingga terbesar. Orang sekarang menyebutnya way of life atau world view, pandangan hidup. Pandangan hidup yang benar akan akan mempengaruhi segala tindak tanduk seseorang, menentukan bagaimana ia memahami hakikat keberadaannya secara benar dan menuntunnya berinteraksi secara benar dengan Penciptanya. Pada gilirannya, dien yang benar akan mengantarkan seseorang pada pemahaman akan konsekuensi pilihan hidup yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Dengan demikian, dien yang benar, jika sudah terinternalisasi dalam diri seseorang, akan menjadikannya selalu berhati-hati dalam segala hal. Lebih dari itu, dien yang benar selalu seiring, serasi, dan selaras dengan hukum alam dan tabi'at dasar kehidupan sehingga segala hal yang diatur menurut dien ini akan harmonis. Jadi, kebutuhan manusia akan dien yang benar menjadi hal yang mutlak.

Jika diumpamakan kita ini kereta api, dienul islam ibarat rel bagi kita. Di atasnya kita meniti jalan kehidupan supaya selamat sampai tujuan. Kereta api tanpa jalur rel yang baik dan benar pasti tidak bisa berjalan atau kalau ia berjalan pasti berpeluang besar mengalami kecelakaan. Kerusakan pada rel kereta api saja bisa berakibat fatal; kecelakaan yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa hingga puluhan bahkan ratusan orang,  bagaimana jika kerusakan itu menimpa "rel" manusia? Tentunya resiko kecelakaan besar yang jauh lebih dahsyat di dunia dan akhirat telah menanti.

Mari kita renungkan firman Allah Subhanawata'ala dalam ayat berikut.

 أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ ۥ ٓ أَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

"Maka mengapa mereka mencari dien yang lain selain dien Allah, padahal apa yang di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya, (baik) dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan?" (QS. Ali 'Imran: 83).
 Dalam ayat di atas, Allah bertanya secara retoris kepada manusia sembari menunjukkan bukti- bukti bahwa segala ciptaan-Nya di langit dan di bumi tunduk patuh pada pengaturan-Nya. Mari sejenak kita pandang langit. Tampak benda- benda angkasa; planet-planet, komet, matahari, bulan, bintang, semua mengorbit pada garis edarnya masing- masing. Kalau semua itu tidak tunduk pada pengaturan dan perintah Allah niscaya hancur luluhlah tatanan semesta ini. Semua yang tidak sesuai aturan main pasti kacau. Ini adalah tabi'at dasar kehidupan. Hal ini mungkin sudah kita pahami, namun ada satu fenomena menarik sekaligus memprihatinkan pada ciptaan Allah yang berupa manusia.

Manusia yang sudah DIPILIHKAN dien terbaik, terindah, dan paling sempurna oleh Dzat Yang Maha Sempurna lagi Maha Mengetahui segala sesuatu ini banyak yang bersikap sombong. Mereka menolak baik dengan samar- samar maupun terang-terangan, dienul islam pilihan Allah Subhanawata'ala itu lalu mencari dan menggali sendiri dien lain untuk kehidupan mereka. Banyak yang berpikir pedoman hidup buatannya atau pilihannya lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk wahyu. Kalau pikiran ini bersemayam di benak orang-orang yang tidak beriman, wajar. Yang tidak wajar adalah banyak diantara orang-orang yang mengaku beriman juga punya pikiran yang sama. Ada sebuah peristiwa yang menggambarkan kerasnya peringatan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam terkait hal ini.

Dalam sebuah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya (3/387 no. 14623) disebutkan,
 "Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu, suatu saat ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu‘anhu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya. Beliau kemudian marah dan bersabda, “Apakah engkau termasuk orang yang bingung, wahai Ibnul Khaththab? Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih. Jangan kalian bertanya sesuatu kepada mereka (Ahlul Kitab) karena (boleh jadi) mereka mengabarkan al-haq kepada kalian namun kalian mendustakan al-haq tersebut, atau mereka mengabarkan satu kebatilan lalu kalian membenarkan kebatilan tersebut. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa ‘alaihissalam masih hidup niscaya tidak diperkenankan baginya melainkan dia harus mengikutiku.”

Setelah dienul islam ini diturunkan secara sempurna kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagai risalah terakhir bagi semua manusia, seorang muslim tidak boleh mengambil ajaran dari dien lain selain dienul islam bahkan jika itu dari nabi Musa alaihissalam. Kita tahu bagaimana agungnya kedudukan nabi Musa alaihissalam bukan? Beliau termasuk rasul ulul azmi dari lima rasul ulul azmi. Walaupun demikian, kita sebagai umat Muhammad shalallahu alaihi wasallam tidak boleh mengikutinya seandainya beliau alaihissalam hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Lantas bagaimanakah keadaan seorang muslim zaman ini yang begitu mudahnya mengambil pendapat, ajaran, pandangan hidup, falsafah, bahkan petunjuk hidup dari Aristoteles, Plato, Socrates, atau tokoh- tokoh semisal mereka lainnya? Agaknya ini layak menjadi bahan renungan kita bersama.

 Rind
 Malang,25 Safar 1439H



Komentar